Jumat, 24 Februari 2023 – Penerbit Balai Pustaka resmi menerbitkan novel karya Muhammad Subhan yang berjudul Rumah di Tengah Sawah dengan wajah sampul baru, pada hari lahir Balai Pustaka 22 September 2022 lalu. Novel Rumah di Tengah Sawah ini berkisah tentang petualangan tiga sahabat Agam, Bondan, dan Anton yang tinggal di permukiman rumah di tengah sawah dengan segala suka duka mereka.
Lewat acara terbaru Balai Pustaka yang disebut Ngoceh Buku dengan tagline Ngobrol Ceria Hari Ini tentang Buku, Tim Ngoceh Buku berkesempatan untuk membedah sekaligus berbincang-bincang dengan dua orang di balik Rumah di Tengah Sawah, yakni sang penulis, Muhammad Subhan atau yang akrab dipanggil dengan Kak Han, dan sang ilustrator kover, Avia Maulidina, yang akrab dipanggil Kak Avia.
Menurut Kak Han, menulis tuh apa sih?
Ketika orang tanya, kenapa Muhammad Subhan menulis? Apakah untuk uang, popularitas, atau hal-hal lain? Poin paling penting adalah ketika saya menulis, saya ingin dalam karya saya ada sesuatu yang dipetik atau dipungut oleh orang lain. Bagian-bagian yang dipetik itu bisa menginspirasi dan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Nah kalau menuju ke belakang, panjang sekali, 20 tahun lalu ketika ayah saya meninggal dunia di Aceh ketika konflik, saya sebagai tulang punggung keluarga mengajak Ibu dan adik merantau ke Padang. Ketika itu, kebanyakan perusahaan, took dan instansi pemerintah tidak menerima lowongan karena saya hanya tamatan SMA dan belum punya skill, saya kembali mengingat ke masa SMP-SMA. Sejak SMP saya sudah suka baca buku, tulis buku. Lalu saya berpikir, kenapa tidak menulis saja yang saya kembangkan? Ketika saya mulai fokus di situ ternyata Tuhan itu memberikan saya jalan, “Ya Muhammad Subhan, kamu berbakat menulis.” Lalu, saya kirimlah tulisan-tulisan ke koran, surat kabar dan majalah. Alhamdulillah ditolak, hahaha. Kemudian saya kirim lagi berulang kali sampai suatu hari hasil karya saya beberapa dimuat dan saya bermotivasi untuk terus menulis sampai hari ini. Untuk sampai pada titik ini saya menjalani kurang lebih proses selama 10 tahun. Jadi, menulis adalah sesuatu yang membuat saya terinspirasi dan mudah-mudahan dari tulisan saya itu bisa menginspirasi banyak orang.
Mungkin Kak Avia bisa memberikan insight, membuat kover buku itu sejatinya apa, sih?
Kalau menurut saya, membuat kover itu memvisualisasikan kepingan cerita novel kepada pembaca agar pembaca mau membaca isi keseluruhannya. Di Rumah di Tengah Sawah ini, atmosfer yang saya tangkap adalah atmosfer yang membuat pembacanya merasa damai. Oleh karena itu, pada kover saya menampilkan dua tokoh, yakni tokoh Agam dan juga tokoh Bondan yang sedang bermain layang-layang, saya gunakan pula warna-warna yang sejuk dipandang mata, agar para pembaca bisa mendapat kesan yang pas dengan isi cerita.
Nah, Kak Han bisa coba ceritakan atau berikan deskripsi singkat sinopsis dari buku Rumah di Tengah Sawah ini?
Rumah di Tengah Sawah ini punya sejarah yang panjang. Ketika ayah dan ibu saya bertemu di Medan—karena ibu saya ketika gadis merantau ke Medan dan ayah saya yang berasal dari Aceh juga merantau ke Medan—mereka tinggal di rumah yang terletak di tengah sawah. Kawasan Tembung, Medan, Sumatera Utara, itu sebelum gedung-gedung besar yang hari ini berdiri di sana, dulunya merupakan hamparan sawah yang sangat luas sekali. Saya di situ masih sempat menangkap belut di pematang sawah, memancing ikan lele dan ikan gabus, kemudian di tengah lapangan yang sangat luas merasakan sepoi angin yang asyik, juga mencari pohon-pohon petai yang kecil ke sebuah tempat di sana. Berbekal memori tersebut, pada novel ini, saya mengangkat persahabatan tiga orang anak. Ada Agam, Bondan, dan Anton yang tinggal di deretan rumah tengah sawah, di perbukitan kecil. Mereka bertetangga karena tidak ada warga-warga lain, sehingga persahabatan masa kecil mereka diukir bertiga saja. Mereka ke sawah, main layang-layang, dan lain sebagainya. Di novel ini ada nilai-nilai moral pula, tentang bagaimana mereka bisa hormat kepada orang tua dan guru, tolong menolong, dan lain sebagainya, sehingga cocok untuk dibaca anak-anak membaca usia di SMP dan SMA karena ada kekuatan atau nilai-nilai edukasi literasi untuk remaja.
Untuk proses kreatif nih Kak Han, bagaimana sih proses penulisan novel di Rumah di Tengah Sawah ini dari awal sampai menjadi sebuah novel yang rampung?
Proses penulisan membutuhkan waktu lebih kurang 5-6 bulan, tapi sebenarnya ide novel ini sudah saya niatkan sejak tahun 2011. Saya tekadkan novel Rumah di Tengah sawah ini harus terbit, sampai akhirnya bisa diterbitkan di Balai Pustaka.
Terkait penulisan, adakah hambatan yang paling mengganggu atau menghambat penulisan novel Rumah di Tengah Sawah ini?
Sepanjang proses penulisan 5-6 bulan itu tidak ada hambatan berarti, tapi walaupun demikian proses yang paling berat dihadapi oleh seorang penulis adalah ketika dia harus membaca ulang naskahnya. Jadi, untuk penulis-penulis muda, saya kira tidak cukup sekali tulis jadi terbit. Tidak bisa begitu. Sebuah novel perlu dibaca ulang dan dibaca ulang, sehingga persoalan satu tanda baca saja itu akan memberikan pengaruh kepada pemaknaannya. Saya berusaha untuk membaca ulang berkali-kali agar saya menjadi editor untuk naskah saya sendiri. Ditambah dengan adanya editor dari Balai Pustaka, jadi semakin keren deh naskahnya.
Kalau Kak Avia, bagaimana pertama kali muncul ide untuk membuat kover seperti ini?
Awalnya saya tentu membaca dulu semua halaman-halamannya, mencari apa sih keunikan dari Rumah di Tengah Sawah? Untungnya, untuk Rumah di Tengah Sawah ini dari judulnya pun sudah unik. Setelah saya baca lebih lanjut lagi, ternyata ada empat rumah berjejer di tengah sawah dan itu hal unik yang bisa diangkat ke dalam kovernya. Kemudian, saya temukan kekuatan lainnya dari novel ini, yaitu karakter-karakter yang nggak kalah inspiratif serta kegiatan mereka. Jadilah, saya menggambarkan Agam bersama Bondan yang sedang bermain layangan seperti salah satu scene pada novel.
Terakhir nih, Kak Han, mengapa pembaca harus memiliki novel Rumah di Tengah Sawah?
Sama seperti yang saya sampaikan tadi, bahwa dalam novel Rumah di Tengah Sawah ini ada muatan-muatan literasinya, muatan-muatan moralnya, ada sikap keteladanan. Di situ ada kejujuran, sikap bertanggung jawab, tolong menolong, dan ini penting dimiliki oleh anak-anak kita hari ini—ketika mereka sibuk dengan gadget-nya, ketika mereka lebih bangga dengan budaya-budaya asing, sementara akar budaya di Indonesia yang melingkupi Sabang sampai Merauke punya kekuatan-kekuatan nilai yang sangat bagus untuk mendukung mereka menjadi orang-orang besar suatu hari nanti. Kalau kita bawa budaya dari luar negeri kan nggak mungkin, maka kita angkatlah nilai-nilai kearifan lokal kita yang bertebaran banyak sekali dan salah satunya tentu ada dalam novel Rumah di Tengah Sawah. Saya ucapkan pula terima kasih kepada Balai Pustaka yang sudah bersedia mengangkat dan membesarkan novel ini.
Leave a comment